Sabtu, 04 Juni 2011

Belajar Kearifan dari Suku Sasak Sade (Lombok)

  Serombongan turis turun dari sebuah bus pariwisata. Mereka memasuki gerbang beratap alang-alang. Seusai mengisi buku tamu, beberapa pemuda Sasak menyambut mereka. Rombongan besar itu lalu dipecah menjadi beberapa kelompok dengan guide masing-masing. Sang guide pun memandu mereka mengelilingi dusun seluas lima hektar itu.
           Tak hanya wisatawan mancanegara yang tertarik mengunjungi suku Sasak di dusun Sade, Rembitan, Pujut, Lombok Tengah ini. Para wisatawan domestik juga tak mau ketinggalan. Setiap bulan, jumlah turis yang datang rata-rata mencapai 3.000 orang. Lantas, apa yang membuat mereka tertarik mengunjungi Dusun Sade?
           “Saya menemukan banyak hal unik di Sade. Bentuk rumahnya, adat istiadatnya, pernak-pernik (gelang, kalung, mainan anak) dan baju khas yang semuanya hand made. Selain itu menurut informasi yang saya baca, di Lombok hanya tinggal tiga desa adat, salah satunya Sade,” papar Latif, salah seorang pengunjung.
           Kurdap Selake, ketua pengemban adat (juru keliang) sekaligus kepala Dusun Sade, membenarkan ucapan Latif. Menurutnya, dahulu semua desa di Lombok memiliki arsitektur seperti di Sade. Namun seiring waktu, bentuk fisik desa adat nyaris musnah.
           Beruntung, Sade tidak termasuk desa yang tergerus perkembangan zaman. “Sebenarnya dusun ini sudah menjadi tujuan pariwisata sejak zaman Belanda. Namun pemerintah sendiri baru meresmikannya pada 1985,” tambah Kurdap ini.
           Bentuk rumah yang masih tradisional dengan dinding dan tiang yang terbuat dari bambu, menjadi daya pikat bagi para wisatawan. Alang-alang yang dianyam dan dijemur kering menjadi atap rumahnya. Terlihat rapuh memang, namun mampu bertahan 7-8 tahun.
           Untuk lantai rumah, Suku Sasak Sade memiliki teknik tersendiri. Untuk membuat lantai, mereka mencampur tanah liat dan kotoran kerbau. Metode ini mereka yakini dapat menjadikan lantai kuat dan tahan lama. Tak cukup itu, agar terhindar dari serangan nyamuk, setiap seminggu sekali lantai rumah diguyur dengan air kotoran kerbau. 
Perempuan Sasak
           Ummi menemui perempuan Sasak yang sedang bekerja sambil mengunyah sirih. Usianya tak lagi muda, namun semangat terpancar dari dirinya. Tangan kanan perempuan itu menggerakkan alat berbentuk seperti kincir angin, sementara tangan kiri memegang kapas. Dari alat sederhana tersebut dia membuat benang.
           Di sudut lain, terlihat perempuan yang tengah konsentrasi menenun. Tangannya lincah menarik alat yang berbuyi ter-ter-ter, ke atas dan ke bawah. Melalui Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) ini dia membuat kain songket indah khas Lombok.
           Rata-rata perempuan Sasak menghabiskan waktu satu bulan untuk membuat selembar kain songket. Tak heran, harganya mencapai ratusan ribu rupiah. Selain itu, mereka juga membuat selendang, syal, dan taplak meja. Semua produk tersebut dibuat dengan alat sederhana yang terbuat dari kayu atau bambu. “Kami membuat sendiri alatnya,” ucap Inak Tapa, penenun Sade.
Semua perempuan Sasak bisa menenun sejak usia 7-10 tahun. Bahkan, menurut Inak Tapa, perempuan Sasak dilarang menikah jika belum bisa menenun. Meski demikian, mereka mengaku menenun hanya profesi sampingan. Pekerjaan utama perempuan Sade adalah mengurus rumah dan membantu para lelaki bertani.
           Meski pengerjaannya tradisional, industri tenun Sade dikelola secara modern oleh koperasi. Seluruh kain tenun hasil produksi dikumpulkan di koperasi, lalu masyarakat menjual kembali kain tersebut. Koperasi juga menetapkan standar sehingga tidak ada persaingan harga di antara pedagang.
 
Belajar Kearifan dari Suku Sasak
           Seluruh penduduk Sasak Sade beragama Islam. Kurdap meyakini sejak dahulu leluhur mereka beragama Islam. Hanya saja keislaman mereka belum sempurna.
           “Para pendahulu kami menjalankan Islam Wetu Telu, hanya kiai yang wajib menjalankan ibadah seperti shalat dan puasa. Sedangkan masyarakat umum tidak menjalankannya,” ulas lelaki berusia 42 tahun ini. Baru pada 1964-1965, mereka mendapat pembinaan dari pemerintah. Hasilnya, penduduk mulai memahami dan menjalankan lima rukun Islam dengan baik.
          Mushala, sebagai salah satu pilar kehidupan masyarakat Islam, menjadi satu-satunya bangunan yang berbeda di Sade. Dinding dan atapnya sama dengan rumah yang lain, namun lantainya terbuat dari keramik. Tempat wudhunya terbuat dari gentong besar. Seperti umumnya mushala, di dalamnya terdapat mimbar, mikrofon dan pengeras suara.
       Seraya mempertahankan kehidupan tradisionalnya, masyarakat Sade memang tak menolak kemajuan zaman. Mereka sudah bisa menikmati listrik sehingga tak perlu lagi lampu minyak. Radio, televisi dan VCD player menghiasi sebagian rumah mereka. Anak-anak muda juga telah mengenyam pendidikan hingga tingkat SMP dan SMA.
Meski begitu, budaya gotong royong tetap mereka lestarikan. Saat rumah salah seorang warga mengalami kerusakan, para tetangga dengan sukarela memperbaikinya. Mulai dari menganyam alang-alang untuk atap, menaikkan atap, mengganti dinding, semua dilakukan bersama.
           Sebagai desa adat yang memiliki daya tarik wisata, Dusun Sade mampu menyediakan lahan pekerjaan untuk masyarakatnya, terutama para pemuda. Misalnya, sebagai pemandu wisata para turis. Ada 35 guide yang bekerja sesuai jadwal yang telah tersusun rapi. Mereka menerima gaji dari dana khusus dusun.
           Dusun Sade mengandalkan dana dari Dinas Pariwisata untuk mengelola daerahnya. Karena itu, pengunjung tak dikenai biaya sepeserpun. Pengelola hanya meletakkan kotak donasi di pintu masuk. Dana itu dimanfaatkan untuk kepentingan sosial, seperti  pembangunan masjid, santunan untuk warga yang sakit atau meninggal dunia dan bantuan pendidikan. Semua dana yang diperoleh, mereka kelola secara transparan dan harus dipertanggungjawabkan setiap tahun.
           Sistem pengelolaan dusun seperti yang dilakukan masyarakat Sade memperlihatkan bahwa mereka memiliki jati diri yang kuat. Mereka mampu mengombinasikan modernisasi dengan nilai-nilai lokal yang mereka yakini kebenarannya. Dan, ternyata, paduan kedua hal tersebut menjadikan mereka unik. Mari, petik pelajaran dari kearifan suku Sasak Sade.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar