Sabtu, 04 Juni 2011

Suku Sasak Bayan Bertahan di Tengah Kemajuan Zaman



Lombok - Suku Sasak Bayan di Desa Bayan, Kecamatan Anyar, Lombok Utara masih menerapkan adat istiadat asli mereka dalam kesehariannya. Namun demikian, mereka tetap mengadopsi produk-produk kekinian.

Yudi Febrianda  dan Hanindita Ratna Asti peserta ACI (Aku Cinta Indonesia) detikcom berkesempatan mendatangi Desa Bayan yang masih sangat tradisional, Minggu (10/10/2010). "Waktu melihatnya, amaze banget. Desanya masih asri, bangunannya juga sangat sederhana. Masyarakatnya juga welcome dan ramah sekali," ujar Hanin, ketika dihubungi detikcom.

"Setiap kegiatan selalu ada upacara atau selamatan," lanjut Hanin lagi.

"Di sana ada suatu wilayah yang disebut sebagai "Bayan Beleq" (dalam bahasa Sasak, Beleq = besar), terdapat Masjid Kuno Wetu Telu yang bangunannya diperkirakan berdiri sejak 300 tahun sebelum masehi. Atap dan dindingnya terbuat dari bambu dan di dalamnya masih tanah dan hanya ada satu beduk," ujar Yudi.

"Mereka memang masih memegang kuat adat istiadat, tapi mereka sangat modern kok," tutur Hanin lagi. Masuknya modernisasi ke Desa Bayan bisa dilihat dari keberadaan produk-produk elektronik seperti ponsel dan kamera digital yang jumlahnya sudah jamak.

"Mereka juga mempunyai filsafat tinggi yang disebut "wetu telu". Mereka percaya bahwa proses kehidupan di alam ini tidak terlepas dari tiga hal utama yaitu melahirkan (manganak), bertelur (menteluk) dan berbiji (mentiuk)," lanjut Yudi.

Orang Bayan mempunyai tempat khusus di luar rumah untuk melakukan semua kegiatan. "Setiap rumah di sana terdapat berugaq seperti gazebo. Jadi segala bentuk kegiatan yang berkaitan dengan orang luar dari anggota keluarga inti dilakukan di berugaq. Seperti menerima tamu dan semua kegiatan adat lainnya. Dalam satu rumpun keluarga harus memiliki minimal satu berugaq," ujar Hanin.

"Kalau mau masuk ke desa ini, terutama memasuki tempat kegiatan yang dipusatkan di Bencingah, harus mengenakan pakaian adat. Untuk laki-laki menggunakan sarung, songket serta ikat kepala. Sedangkan untuk perempuan menggunakan sarung dan kemben,"tutur Yudi.

"Aku belajar nyirih dan makan pinangnya, ini merupakan pengalaman yang gak akan aku lupakan. Rasanya kesat, sirihnya pedes padahal makan pinangnya duluan. Lama-kelamaan jadi merah air sirihnya," timpal Hanin.


Keterangan foto: Bersama pemangku adat Suku Sasak Bayan (tengah) Raden Wira Anom. Panggilan hormat untuk pemangku adat Suku Sasak Bayan adalah Mamiq.

Pengalaman Hanin dan Yudi serta peserta ACI lainnya dapat disimak di Jurnal Petualang ACI.http://aci.detik.com/jurnalperjalanan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar